TAJUKNEWS.COM, Jakarta. -Penolakan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) yang akan diberlakukan pada Januari 2023 oleh sopir-sopir truk logistik bukan tanpa alasan. Mereka mengatakan tidak bisa bersaing jika menggunakan truk kecil.
Adlan, sopir truk yang kesehariannya membawa truk dari Jakarta-Bali misalnya, tidak jarang ditolak ekspedisi maupun pabrik kalau sedang membawa truk yang ukurannya kecil. “Kalau kita punya mobil pendek yang ukurannya hanya 6 meter, para ekspedisi dan pabrik tidak mau terima. Mereka mintanya minimal ukuran 8 meter,” ujarnya, di Jakarta, 11/02/2022.
Katanya, pabrik tidak menerima mobil pendek. Penolakan terhadap truk kecil ini juga berdampak terhadap ekonomi para sopir. “Kalau mobil yang saya bawa kecil, saya susah mendapat order dan terpaksa harus nunggu lama di pangkalan. Itu sangat menghabiskan biaya. Parkir saja sehari 30 ribu, itu belum makan,” tuturnya.
Misalnya untuk pabrik-pabrik snack seperti Mayora saja, menurut Adlan, mereka mintanya kubikasi. “Jadi, kalau mobil kita pendek hanya berapa kubik saja yang bisa kita bawa. Dari hitung-hitungan ongkirnya tidak nutup untuk operasional dari Jakarta ke Bali. Biayanya habis untuk di jalan saja. Mereka juga biasanya nggak mau menerima kalau mibilnya pendek,” ungkapnya.
Sementara, kata Adlan, kalau tidak mengikuti keinginan pabrik yaitu truk long atau panjang, para sopir tidak akan bisa untuk mendapatkan muatan. “Itu sebabnya para sopir memodifikasi truknya, yaitu agar pabrik-pabrik mau memakai,” tukasnya.
Jadi, menurutnya, pemerintah harus mengetahui kondisi para sopir di lapangan. Sementara, para sopir truk ini juga masih harus menanggung kenaikan harga bearing dan ban saat ini yang melambung tinggi. “Jadi, kondisi kita sangat susah sekarang. Pemerintah tidak mau tau tentang kesulitan kita ini. Kok mau ditambah lagi dengan normalisasi ODOL yang menghimpit kehidupan kita,” tandasnya.
Kondisi inilah yang menurut Adlan yang membuat para sopir truk menolak kebijakan Zero ODOL. Apalagi menurutnya, pemerintah malah mengijinkan produksi baru mobil-mobil long. “Untuk bisa bersaing itulah kita mau nggak mau harus menggunakan mobil yang long. Kalau tidak, jelas kita akan kalah bersaing dengan mobil-mobil baru itu. Sementara, untuk kondisi saat ini kita sama sekali tidak mampu untuk membeli mobil-mobil baru. Truk-turk kita saja yang bekas dan itupun masih kredit,” katanya.
Hal senada juga dilontarkan sopir truk lainnya bernama Mustakim. Dia menceritakan pernah bangkrut karena hanya memiliki mobil-mobil yang ukurannya pendek. “Mobil saya dulu itu cuma ukuran 6,7 meter. Saya nunggu muatan sampai 2 minggu saya baru muat. Waktu itu uang saya habis-habisan untuk nginap di Jakarta. Saya harus bayar parkir sehari 30 ribu dan itu belum termasuk makan, dan akhirnya saya bangkrut dan menjualnya,” tutur sopir yang berasal dari Banyuwangi ini.
Dia juga mengungkapkan bahwa muatan dari pabrik seperti tissue, snack, dan elektronik itu mainnya kubikasi. “Sedangkan dimensi mobil saya kan pendek. Jadi nggak bisa memenuhi kubikasi yang harga bawa di minimalnya 50 kubik. Karena nggak muat, jadi mobil saya tidak terpakai,” ujarnya.
Seorang ekspedisi yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan pemerintah seharusnya menekan pabrik-pabrik terlebih dulu dalam menerapkan Zero ODOL ini. “Selain itu, pemerintah juga harus bersikap adil dengan tidak mengijinkan kehadiran truk-truk baru yang panjang masuk ke Indonesia. Kalau itu masih dibiarkan, ya jelas itu tidak adil bagi para sopir logistik kecil yang ada di masyarakat menengah bawah,” katanya.
@Sonny/Tajuknews.com/tjk/02/2022.