TAJUKNEWS.COM, Yogyakarta. - Halik Sandera dari Walhi juga mengatakan bahwa pelabelan BPA Free pada galon sekali pakai bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam mengurangi sampah plastik. “Seharusnya ijin dari penggunaan galon sekali pakai itu juga tidak boleh, karena kita dalam konteks kebijakan sedang melaksanakan roadmap tanggung jawab produsen”, ujar Halik pada acara Diskusi Publik “Problematik Galon Sekali Pakai Terhadap Lingkungan” yang diselenggarakan BEM Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (16/12).
Lebih lanjut Halik mengaatakan bahwa bila beberapa daerah telah menerapkan pelarangan kantong plastik sekali pakai, seharusnya di tingkat nasional juga dilarang, karena ijin perusahaan ada di pusat. Seharusnya galon sekali pakai dilarang, sehingga prinsip 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle” dalam pengelolaan sampah dapat benar-benar dilaksanakan. “Kalau sekali pakai kita tahu sudah banyak yang menghitung, mulai dari gelas, botol, maupun galon. Kalau sekali pakai sebenernya kita beli plastik bonusnya air, karena dari perhitungan teman-teman harga botol, gelas atau galon sekali pakai itu 75% harganya itu untuk beli plastiknya” tambahnya.
Sebelumnya Pembicara lain dalam webinar ini, Agus Supriyanto Kepala Seksi Bina Peritel KLHK, mengatakan bahwa lembaganya tidak bisa menghentikan produk (galon sekali pakai), karena kewenangannya ada pada Kemenperin dan BPOM, KLHK menurutnya hanya kebagian sampahnya, tapi kami tetap semangat untuk mengurangi sampai plastik sebagai dampak dari maraknya kemasan sekali pakai. Agus juga mengajak masyarakat untuk ikut membantu mengurangi sampah plastik dengan bijak membeli produk yang ramah lingkungan. “Kalau menghentikan produk saya pikir bukan kita, justru konsumen, kalau dia ga pakai, udah selesai itu. Jadi posisi masyarakat juga harus berperan sangat penting di sini dengan kemudian mau memilih barang atau kemasan yang bisa mencegah sampah. Tapi saya tidak mau berenti, tidak mau menyerah pada itu, jadi kewenangan yang ada di kami dikerjakan dengan sangat serius” tambah Agus
Lebih lanjut Agus mengatakan Mengurangi sampah dengan cara mencegah terjadinya sampah dan penggunaan kemasan plastik guna ulang menjadi prioritas yang diterapkan pemerintah untuk pengelolaan sampah seperti diamanatkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal itu disebabkan dua hirarki teratas dalam pengelolaan sampah plastik adalah mengurangi penggunaan plastik dan menggunakan ulang plastik. Dengan dua pendekatan ini dipastikan bisa membuat terjadinya sampah yang lebih sedikit.
“Kita lebih mendukung kedua hirarki ini menjadi prioritas untuk diterapkan di pengelolaan sampah karena sudah pasti sampahnya lebih sedikit. Karena di UU Pengelolaan sampah, prinsipnya adalah barang dan kemasan yang digunakan itu disarankan yang menghasilkan sampah sesedikit mungkin. Artinya, itu akan meminimumkan dampak terhadap lingkungan juga kemudian biayanya murah,” ujarnya
Sementara, untuk kemasan plastik sekali pakai seperti galon sekali pakai, meski bisa didaur ulang, menurut Agus, pengelolaan sampahnya tidak mudah dilakukan. “Banyak sekali barang dan produk yang dipasarkan mengkalim bisa didaur ulang, tapi didaur ulangnya seperti apa kita tidak tahu. Produsennya belum mempunyai mekanisme yang baik untuk kemudian membuat kemasan pasca konsumsinya bisa didaur ulang dengan benar,” tuturnya.
Kata Agus, proses daur ulang itu tidak mudah. Produsen harus memiliki mekanisme untuk menarik kembali kemasan bekasnya untuk kemudian diproses di industri daur ulang yang sekarang sebenarnya belum banyak. “Hanya ada beberapa saja, dan itu belum cukup untuk menangani semua sampah yang beredar yang dihasilkan kemasan plastik sekali pakai di Indonesia,” ucapnya.
Karenanya, dia meminta agar masyarakat sebaiknya tidak menggunakan kemasan plastik sekali pakai. Dia beralasan kemasan plastik sekali pakai itu memicu timbulan sampah terhadap lingkungan. “Kalau bisa ya lebih baik mencegah. Yang sekali pakai buang sebaiknya tidak digunakan karena itu jadi membuat sampah. Nah, keputusan ini ada di konsumen untuk lebih mampu memilih barang dan kemasan atau produk yang digunakan sehari-hari yang tidak menimbulkan sampah,” tukasnya.
Terkait keberadaan galon sekali pakai, secara pribadi Agus melihat agak sulit pengelolaan sampahnya. Dengan bentuknya yang besar, menurut Agus, pengangkutan galon sekali pakai ini juga akan cukup sulit dilakukan. “Yang tadinya satu gerobak itu misalnya bisa mengangkut 100 botol yang kecil, tapi jika mengangkut galon sekali pakai mungkin isinya cuma lima. Tidak kebayang jika galonnya jumlahnya banyak, pasti akan cukup kesulitan untuk mengangkutnya. Kami juga mencoba untuk melihat kasus itu. Ini nanti sulit untuk mengelola sampahnya,” ujarnya.
Dalam Kesempatan terpisah, Abdul Ghofar, Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), menyesalkan kehadiran kemasan galon sekali pakai ini. Memang, kata Ghofar, galon sekali pakai ini bisa didaur ulang. Tapi, kendalanya selama ini terkait sampah plastik sekali pakai adalah soal pengumpulannya. Karena, menurut dia, terlalu kecil jumlahnya kalau hanya mengandalkan pemulung yang voluntary saja untuk mengumpulkan semua sampah bekas galon sekali pakai ini. “Yang dibutuhkan adalah adanya tanggungjawab perusahaan yang seharusnya mau mendirikan fasilitas untuk pengumpulan sampah galon sekali pakai yang diproduksinya,” katanya.
Sebelumnya Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, juga melihat keberadaan produk galon sekal pakai ini bukan progres yang baik untuk pengurangan sampah di Indonesia. Ia khawatir, jika masyarakat nantinya beralih dan menjadi terbiasa dengan kemasan sekali pakai ini, guna ulang yang ramah lingkungan malah ditinggalkan. “Saya membayangkan betapa tingginya potensi sampah di Indonesia. Belum ada galon sekali pakai saja kita sudah menghasilkan sampah yang tinggi, utamanya masyarakat Jakarta yang sudah mulai bermunculan berita bahwa TPA kita sudah mulai overload. Demikian juga dengan kota-kota lain. Apalagi ditambah sampah dari galon sekali pakai ini,” tukas Atha.
@Sonny/Tajuknews.com/tjk/12/2021.