Prof. Muhamad Nasir, Menristekditi memaparkan, bahwa Ada 1.800 mahasiswa yang diteliti dari 25 universitas di Indonesia mensurvei masalah radikalisme. Trionenews.com/gufee/6/1/19. |
Trionenews.com, Jakarta - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) dalam acara Jalan Sehat dan Dialog Interaktif Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 bertempat di Kantor Kemenristekdikti Senayan Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Prof. Muhamad Nasir, Menristekditi memaparkan, bahwa Ada 1.800 mahasiswa yang diteliti dari 25 universitas di Indonesia mensurvei masalah radikalisme. Tahun 1980 an masih ada NKKBKK sehingga mahasiswa tidak bisa melakukan aktifitas dalam mengkreasi inovasinya baik berkaitan pengembangan keorganisasian dan inovasi keilmuannya. Maka terjadi mati suri kreasi inovasi. Tahun 1999 keluar aturan dirjen Perguruan Tinggi yang dalam hal ini menyebabkan mahasiswa tidak bisa masuk dalam kegiatan di kampus.
Ada 23% mahasiswa berpotensi radikal karena didalamnya tidak ada kelompok organisasi mahasiswa yang mengawal ekologi bangsa yang masuk dalam kampus baik dari HMI, PMII, GMMI, GMKI dll. Organisasi dan partai politik dilarang masuk dalam kampus.
Mahasiswa yang mempunyai potensi besar kedepan untuk membangun negeri ini, kalulurusan kebangsaan masih menjadi masalah ini akan problem bagi negara. Akibatnya apa yang harus kita lakukan bagaimana refleksi radikalisme yang ada di kampus. Di Perguruan Tinggi harus memberikan pemahaman arti radikalisme kepada mahasiswanya.
Radikalisme muncul dari pikiran dan pengetahuan yang salah, maka untuk menghentikan radikalisme juga dengan pikiran yang benar (Yusf Kalla).
Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkir balikkan nilai nilai yang ada secara drastis dengan perasaan dan aksi aksi yang ekstrim (BNPT).
Yang harus dilakukan dengan high strategi pencegahan didalam kampus maka penting agar agar berbagai kegiatan kampus di desain dengan mengedepankan 4 unsur konsensus data berbangsa dan bernegara yaitu terkait Pabcasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinela Tunggal Ika.
Dalam hal ini mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial dan budaya. Ini yang harus kita coba jalani. Dari permen kemenristekdikti nomor 55 tahun 2018 yang dikeluarkan ada beberapa pasal yang ingin mengawal para mahasiswa yang ada si kampus sama sama membangun Indonesia sejahtera melalui 4 pilar kebangsaan yang kita integrasikan untuk bersama membangun negeri ini.
Prof. R. Siti Zuhro, Peneliti LIPI mengatakan, paparan yang disampaikan Menristekdikti luar biasa, kita dibawa ke Internasional bagaimana Indonesia ditengah negara Intenasional harus menghadirkan satu kompetisi yang positif, daya saing yang bagus, bisnis yang meyakinkan dan mengharapkan berkah dari bonus demografi.
Ajakan Menristekdikti sangat optimis melihat kita di tengah negara internasional lalu kembali ke negara domestik kita.
Adanya kecenderungan bahwa orang-orang muda ini sebenarnya bukan radikalisme. Kita kenal dari dulu senang geng gengan sebagai cikal bakalnya.
Mahasiswa ini sudah menjadi tupoksinya. tanggungjawabnya sebagai bagian dari warga negara yang meliliki hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Itu yang tidak ditumbuh kembangkan. Tanpa mencari kesalahan
Apakah mahasiswa yang salah, apakah para pengurus negara yang salah.
Bagaimana kita harus memulai, karena sangat serius ketika menristekdikti mengatakan terpapar radikalisme mahasiswa-mahasiswa rasanya lurus, rasa memiliki terhadap bangsa ini, wawasan kebangsaan kita menjadi sangat limited, tidak luas pemahaman dan tidak terikat. Ini yang harus kita ketahui apa yang salah.
Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018, sekonyong-konyong dikampus mendadak cinta terhadap Pancasila. Kita butuh teladan sebanyak-banyaknya baik dari kampus maupun para tokoh kita, para elit kita, mulai dari tutur kata sampai prilaku dan tindakannya, komitmen dan konsistensinya itu yang perlu dicontoh.
Pak Menteri luar biasa memikirkan ini sampai permen ristekdikti tapi tidak ada yang namanya tutur kata, contoh konkrit dan sebagainya. Menurutnya itu adalah percuma. Jadi kita tuntut lebih dari itu. Ini saatnya kita sedang mengalami pemilu dalam perspektif demokrasi adalah mengoreksi rezim pemerintahan secara logis dengan akal sehat.
Dengan cara seperti itu kita memintakan bahwa Pancasila jangan diabaikan, partai politik wajib menyertakan semua nilai-nilai Pancasila dalam sekolah politiknya, dalam sistem kaderisasinya, dalam sistem rekruitmennya.
Kalau ujuk ujuk mahasiswa saja yang menjadi penyebab, sementara para elit, aktor tidak punya pekerjaan rumah yang nisa dipertanggungjawabkan secara moral, berat sekali negara ini untuk dedikasi negeri ini.
Apa yang harus kita lakukan dipaparan aplikasinya, bagaimana mendekatkan aktifitas yang disampaikan menristekdikti bagaimana agar ideologi Pancasila itu menyatu dalam pola pandang kita, pola piki .kita, cara mahami dan mengimplementasikannya dalam berorganisasi mulai sila pertama hingga terakhir.
Kita dukung yang menjadi keputusan reaktualisasi Pancasila menjadi sia-sia kalau tidak diikuti dari pucuk dwitunggal kepemimpinan kita turun sampai kedesa. Kalau itu tidak kita lakukan maka akan sia sia. Kita surplus dalam ujaran ujaran tapi minus dalam aplikasi.
Saya menuntut para alumni HMI adalah sosok sosok berkarakter yang sudah saatnya meminpin negara ini, sosok seperti pak Menteri yang mebanggakan dengan kesederhanaannya dan tidak berjarak yang sejatinya sebagai seorang pemimpin.
Tentang idelogi Pancasila memang bukan hanya untuk dikatakan saja tapi dihayati dan dijiwai oleh kita semua, dilaksanakan dengan penuh komitmen. Kita nantinya hadir dengan resources yang kompeitif dan membanggakan.
Trionenews.com/gufee/6/1/19.